Sabtu, 15 Oktober 2016

Awas Hati-Hati Guru Menjadi Korban Pilgub Banten


Politisasi terhadap guru selalu terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Guru tidak hanya dipaksa untuk memilih, tapi juga dipaksa untuk memenangkan calon Kepala Daerah dengan menggunakan pengaruh dan kewenangannya terhadap peserta didik dan orang tua murid

Politisasi umumnya terjadi ketika inkumben mencalonkan kembali atau mengusung sanak keluarga untuk menggantikannya. Beberapa faktor yang menyebabkan guru menjadi sasaran empuk untuk di politisasi.

Pertama, jumlah guru sangat banyak. Dalam pemilihan yang menggunakan sistem satu orang satu suara (one man one vote), guru menjadi kelompok yang terlalu penting untuk diabaikan oleh calon Kepala Daerah.

Kedua, guru tersebar di semua wilayah. Mereka ada di mana-mana, mulai dari perkotaan hingga peloksok. Di sisi lain, guru pun merupakan tokoh di banyak daerah pedesaan maupun perkampungan. Guru adalah sumber rujukan terpercaya, tempat masyarakat mencari solusi atas segala macam persoalan.

Ketiga, peran dan pengaruh penting guru bagi siswa. Di tingkat sekolah menengah atas khususnya, siswa/ pelajar adalah pemilih pemula yang bisa menjadi lumbung suara bagi calon Kepala Daerah. Guru setiap hari berinteraksi dengan mereka dalam proses belajar-mengajar dan kegiatan sekolah lainnya. Singkatnya mendapat dukungan guru berarti berpotensi juga didukung oleh para siswa bahkan orang tua murid.

Beragam modus digunakan inkumben agar bisa mendapat dukungan para guru, dari memberi janji, mengarahkan, memaksa, hingga mengintimidasi. Posisi inkumben memudahkan untuk menjalankan aksi curangnya tersebut.

Biasanya janji ditebar dalam berbagai forum konsolidasi guru yang makin intens diselenggarakan menjelang pemilihan umum. Isunya masih berkutat di sekitar masalah kesejahteraan dan jabatan, seperti akan menyediakan atau meningkatkan tunjangan guru daerah, memberi hadiah posisi struktural, serta mengangkat guru-guru honorer menjadi PNS.

Cara lain adalah melalui instruksi berjenjang. Perintah memilih dan memenangkan calon inkumben dilakukan secara berantai sesuai dengan struktur. Diawali dari inkumben atau tim sukses kepada kepala dinas pendidikan, dilanjutkan ke kantor UPT, atau langsung kepada Kepala Sekolah dan Guru. Di beberapa daerah, cara-cara kasar kerap dipilih: dengan mengancam akan memutasikan atau bahkan mempersulit kenaikan pangkat bagi guru yang tidak bersedia mendukung inkumben. 

Politisasi juga terjadi dengan menggunakan pengaruh dan kewenangan guru terhadap siswa, orang tua, dan masyarakat. Guru mendapat "tugas tambahan" sebagai juru kampanye atau tim sukses.

Beberapa kasus, guru-guru SMA dan SMK dipaksa dan terpaksa ikut mensosialisasi buku mengenai keberhasilan inkumben dan mengarahkan siswanya untuk memilihnya. Bahkan guru diminta membuat soal dan tugas terstruktur untuk siswa dan melibatkan orang tua yang tujuannya memenangkan calon inkumben. Kemudian dalam kasus pilkada Kabupaten Pandeglang pada tahun 2010, Kepala Sekolah dan Guru dipaksa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah untuk membuat baliho dan spanduk yang berisi dukungan kepada inkumben.

Politisasi terhadap guru ini berdampak buruk bagi penyelenggaraan pilkada dan pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada jelas ditegaskan bahwa kandidat kepala daerah dilarang menggunakan fasilitas serta anggaran pemerintah dan pemerintah daerah. Sanksinya berupa pidana penjara dan/atau denda pa­ling.

Selain melanggar aturan main, mobilisasi guru ini telah mencederai prinsip pemilihan yang jujur dan adil. Kecurangan membuat pertarungan menjadi timpang. Melalui kekuasaannya atas guru, inkumben sudah beberapa langkah di depan untuk memenangi pertarungan.

Dampak bagi pendidikan lebih parah lagi. Politisasi menyebabkan kekacauan dalam promosi dan distribusi. Guru-guru yang dinilai berprestasi dalam menyukseskan kemenang­an inkumben mendapat posisi kepala sekolah atau ditarik menduduki jabatan struktural. Sebaliknya, mereka yang membangkang akan kehilangan jam mengajar atau dibuang ke daerah-daerah terpencil. 

Hal tersebut akan berdampak pada tata kelola guru seperti ketimpangan distribusi dan menumpuknya guru-guru honorer, antara lain disebabkan oleh politisasi saat pilkada. Tanpa memperhitungkan kebutuhan, kepala daerah memberi hadiah kepada guru yang dianggap mendukung dengan memindahkan mereka ke wilayah perkotaan. Selain itu, untuk mengakomodasi para pendukung, kepala daerah pun meng­angkat mereka menjadi guru honorer. 

Maka, harus ada upaya serius untuk melindung­i para guru. Solusi instan yang bisa dilakukan oleh Kementerian Penda­yagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah mengirim Surat Edaran ke Pemerintah Daerah agar tidak melakukkan memobilisasi guru untuk kepentingan politik. Pos pengaduan menjadi penting karena akan memudahkan guru yang menjadi korban pilkada untuk melapornya.

Para penyelenggara pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu harus lebih peka dan proaktif. Walau pun menjadi korban, guru biasanya takut melaporkannya. Mungkin mekanisme penga­duan tertutup bisa menjadi salah satu solusinya.

Pandeglang, 16 Oktober 2016

AHMAD JAENUDIN
KETUA UMUM HMI CABANG PANDEGLANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Masukan dan Kritik yang Membangun