Politisasi terhadap guru selalu terjadi dalam setiap penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah. Guru tidak hanya
dipaksa untuk memilih, tapi juga dipaksa untuk memenangkan
calon Kepala Daerah dengan menggunakan pengaruh dan kewenangannya terhadap peserta
didik dan orang tua
murid
Politisasi umumnya terjadi ketika inkumben
mencalonkan kembali atau mengusung sanak keluarga untuk
menggantikannya. Beberapa
faktor yang menyebabkan guru menjadi sasaran empuk untuk di politisasi.
Pertama, jumlah guru sangat banyak. Dalam pemilihan yang
menggunakan sistem satu orang satu suara (one man one vote), guru menjadi kelompok yang terlalu penting untuk
diabaikan oleh calon Kepala Daerah.
Kedua, guru tersebar di semua wilayah. Mereka ada
di mana-mana, mulai dari perkotaan
hingga peloksok. Di sisi
lain, guru pun
merupakan tokoh di banyak daerah pedesaan maupun perkampungan. Guru
adalah sumber rujukan terpercaya,
tempat masyarakat mencari solusi atas segala macam persoalan.
Ketiga, peran dan pengaruh penting guru bagi siswa. Di
tingkat sekolah menengah atas khususnya, siswa/ pelajar adalah pemilih pemula yang bisa
menjadi lumbung suara bagi
calon Kepala Daerah. Guru setiap hari berinteraksi dengan mereka dalam proses
belajar-mengajar dan kegiatan sekolah lainnya. Singkatnya mendapat
dukungan guru berarti berpotensi juga didukung oleh para siswa bahkan
orang tua murid.
Beragam modus
digunakan inkumben agar bisa mendapat dukungan para guru, dari memberi janji,
mengarahkan, memaksa, hingga mengintimidasi. Posisi inkumben memudahkan untuk menjalankan
aksi curangnya tersebut.
Biasanya janji ditebar dalam berbagai forum konsolidasi guru yang makin intens
diselenggarakan menjelang pemilihan umum. Isunya masih berkutat di sekitar
masalah kesejahteraan dan jabatan, seperti akan menyediakan atau meningkatkan
tunjangan guru daerah,
memberi hadiah posisi struktural, serta mengangkat guru-guru honorer menjadi PNS.
Cara lain adalah melalui instruksi berjenjang. Perintah memilih dan
memenangkan calon inkumben dilakukan secara berantai sesuai dengan struktur.
Diawali dari inkumben atau tim sukses kepada kepala dinas pendidikan,
dilanjutkan ke kantor UPT, atau
langsung kepada Kepala Sekolah dan Guru. Di beberapa daerah, cara-cara kasar
kerap dipilih: dengan mengancam akan memutasikan atau bahkan mempersulit
kenaikan pangkat bagi guru yang tidak bersedia mendukung inkumben.
Politisasi juga terjadi dengan menggunakan pengaruh dan kewenangan guru
terhadap siswa, orang tua, dan masyarakat. Guru mendapat "tugas
tambahan" sebagai juru kampanye
atau tim sukses.
Beberapa kasus, guru-guru SMA dan SMK dipaksa dan terpaksa ikut
mensosialisasi buku mengenai keberhasilan inkumben dan mengarahkan siswanya untuk
memilihnya. Bahkan guru diminta membuat soal dan tugas terstruktur untuk siswa
dan melibatkan orang tua yang tujuannya memenangkan calon inkumben. Kemudian dalam kasus
pilkada Kabupaten Pandeglang pada tahun 2010, Kepala Sekolah dan Guru
dipaksa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah untuk membuat baliho dan
spanduk yang berisi dukungan kepada inkumben.
Politisasi terhadap guru ini berdampak buruk bagi penyelenggaraan pilkada
dan pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Pilkada jelas ditegaskan bahwa kandidat kepala daerah dilarang menggunakan
fasilitas serta anggaran pemerintah dan pemerintah daerah. Sanksinya berupa
pidana penjara dan/atau denda paling.
Selain melanggar aturan main, mobilisasi guru ini telah mencederai prinsip
pemilihan yang jujur dan adil. Kecurangan membuat pertarungan menjadi timpang.
Melalui kekuasaannya atas guru, inkumben sudah beberapa langkah di depan untuk
memenangi pertarungan.
Dampak bagi pendidikan lebih parah lagi. Politisasi menyebabkan kekacauan
dalam promosi dan distribusi. Guru-guru yang dinilai berprestasi dalam
menyukseskan kemenangan inkumben mendapat posisi kepala sekolah atau ditarik menduduki
jabatan struktural. Sebaliknya, mereka yang membangkang akan kehilangan jam
mengajar atau dibuang ke
daerah-daerah terpencil.
Hal tersebut akan berdampak pada tata kelola guru seperti ketimpangan distribusi dan menumpuknya
guru-guru honorer, antara lain disebabkan oleh politisasi saat pilkada. Tanpa
memperhitungkan kebutuhan, kepala daerah memberi hadiah kepada guru yang
dianggap mendukung dengan memindahkan mereka ke wilayah perkotaan. Selain itu,
untuk mengakomodasi para pendukung, kepala daerah pun mengangkat mereka
menjadi guru honorer.
Maka, harus ada upaya serius untuk melindungi para guru. Solusi instan yang bisa
dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi adalah mengirim Surat Edaran ke Pemerintah Daerah agar
tidak melakukkan memobilisasi
guru untuk kepentingan politik. Pos pengaduan menjadi penting karena akan memudahkan
guru yang menjadi korban pilkada untuk melapornya.
Para penyelenggara pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Panitia
Pengawas Pemilu harus lebih
peka dan proaktif.
Walau pun menjadi
korban, guru biasanya takut melaporkannya. Mungkin mekanisme pengaduan tertutup bisa
menjadi salah satu solusinya.
Pandeglang,
16 Oktober 2016
AHMAD JAENUDIN
KETUA UMUM HMI CABANG PANDEGLANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Masukan dan Kritik yang Membangun